www.bigoo.wswww.bigoo.wswww.bigoo.wswww.bigoo.wswww.bigoo.wswww.bigoo.wswww.bigoo.wswww.bigoo.wswww.bigoo.wswww.bigoo.wswww.bigoo.wswww.bigoo.wswww.bigoo.ws

Blog Petualang Jiwa '05

Hai hai... Terima kasih sudah mau mampir kesini. Kami dari sekelompok mahasiswa ilmu keperawatan Universitas Padjadjaran, membuat blog ini sebagai wadah untuk menyalurkan inspirasi dan bertukar pikiran kepada siapa saja yang melihat blog ini. Kami harapkan artikel dan semua isi yang ada, nantinya akan bermanfaat untuk kemajuan kesehatan, terutama dibidang keperawatan.. Silahkan di lihat-lihat dulu. Terima kasih..^^

25 November 2008

Perbedaan Indikasi Depresi pada setiap gender

Perbedaan indikasi karena gender

Walaupun wanita dan pria mungkin memiliki banyak kesamaan indikasi ketika mereka mangalami depresi, mereka menerimanya secara berbeda. "Wanita lebih memperlihatkan bahwa mereka lebih merasa kecapainan sepanjang waktu. Juga merasa tidak percaya diri, tidak bisa mandiri, dan putus asa. Dengan perasaan tersebut, mereka memiliki kesulitan dalam membuat keputusan," pernyataan dari Melodie Morgan Minott, MD, instruktur ahli jiwa di Northeastern Ohio University's College of Medicine.

"Kenyataannya, depresi semakin memburuk selama masa menstruasi," menurut Morgan Minott. "Tidak mudah bagi wanita ketika memasuki masa menopause, depresi menimpa lebih sering di masa tersebut."

Gejala depresi diantaranya:
  • Sedih berlebihan, was-was, atau tidak bisa berpikir dengan jernih
  • Kurang tidur, bangun terlalu pagi atau sebaliknya tidur terlalu lama
  • Kurangnya nafsu makan dan atau berat badan turun drastis, atau sebaliknya nafsu makan meningkat dan berat badan naik
  • Gelisah dan mudah marah
  • Berpikir untuk bunuh diri atau mati.

Walaupun pria enggan untuk mengakui bahwa dirinya mengalami depresi daripada wanita, wanita juga mungkin merasa malu mengakuinya. Separuh wanita yang mengikuti survey yang diselenggarakan the National Mental Health Association menghasilkan bahwa mereka yang mengalami depresi merasa malu untuk meminta bantuan. Orang masih melihat bahwa depresi merupakan suatu kelemahan baik bagi pria maupun wanita. Akan tetapi, sebaiknya temui dokter /ahli jiwa untuk bantuan yang diperlukan jika anda mengalami depresi. Selain itu dukungan moril baik dari keluarga dan teman sangat positif untuk pemulihan dari depresi.

24 November 2008

Depresi lebih cendrung terjadi pada wanita

Depresi,..???

km wanita??

pernah ngalamin depresi?

kalau iya, km nggak sendirian, saat ini jutaan orang di dunia mengalami hal yang sama, menurut the National Mental Health Association, dan beberapa peneliti memperkirakan hanya satu dari tiga wanita yang mengalami depresi terdiagnosa.

Tidak perduli di negara mana mereka tinggal, dampak pada wanita lebih dalam bila dibanding pria yang mengalami depresi. "Hasil studi yang dihasilkan, wanita yang mengalami depresi paling tidak dua kali lipat dibanding pria," menurut Kimberly Yonkers, MD, direktur the Premenstrual Syndrome and Peripartum Treatment Research Program di Yale. "Lebih jauh lagi, hasil studi mengindikasikan bahwa depresi lebih berdampak pada wanita sedangkan mania (terobsesi berlebihan terhadap sesuatu) lebih berdampak pada pria".

Kenapa banyak wanita mengalami depresi? Peneliti mempunyai teori bahwa wanita lebih mudah depresi disebabkan oleh kombinasi biologi dan faktor genetik, termasuk perubahan hormon dari menstruasi, postpartum, dan menopause, demikian pula akibat stress karena pekerjaan, tanggung jawab keluarga dan peran sosial lainnya.

Perbedaan mencolok antara wanita dan pria dalam diagnosa depresi dimulai dari masa pubertas. Sebelum masa pubertas, rasio depresi tidak berbeda jauh antara anak perempuan dan anak laki-laki. Tetapi antara usia 11 dan 13, rasio anak perempuan yang terkena depresi merangkak naik dengan cepat, dan di usia 15 tahun, anak perempuan dua kali lebih banyak yang mengalami depresi dibanding anak laki-laki. Anak perempuan di sekolah setingkat SMU, rasio depresi bertambah tinggi secara signifikan.


Imsomnia Pada Remaja

INSOMNIA bisa disebabkan gaya hidup yang tak sehat atau gangguan fisik dan psikologis. Bayangkan, pada malam hari saat semua orang tertidur pulas, orang insomnia justru harus berjuang memejamkan mata.

Petang yang seharusnya menjadi "sinyal" alami tubuh untuk tidur pun tak bermakna sama pada orang insomnia. Ada rasa tidak nyaman bagi mereka yang mengalaminya. Beragam hal bisa menjadi penyebab insomnia,mulai masalah fisik, psikologis, hingga gaya hidup.

"Biasanya, kalau sudah lewat jam sebelas malam,mata sulit terpejam. Efeknya, sampai pagi tidak tidur," kata Sarah, 27, yang mengalami insomnia sejak duduk di bangku SMA. Dia menyangka, penyebabnya adalah beban pekerjaan rumah (PR) yang menumpuk dan les tambahan menjelang tes kelulusan. Setiap hari Sarah harus beraktivitas di sekolah sejak pukul 06.30 pagi hingga 18.30 petang. Akibatnya, sampai di rumah sudah kelelahan.

"Jam tujuh malam saya tidur dan terbangun jam sepuluh malam. Lalu mengerjakan PR sampai pagi. Jadi, waktu efektif tidur rata-rata hanya 3 jam. Kebiasaan ini berlangsung lebih dari setahun. Pas kuliah, saya masih sering kesulitan tidur," ujar penyuka sepak bola itu.

Pengalaman Sarah hanya sebagian kecil kasus insomnia pada remaja. Saat ini merebaknya game dan PlayStation yang membuat orang kecanduan, juga bisa menjadi pemicu kasus kesulitan tidur.Selain itu,kebiasaan anak muda nongkrong atau clubbing sampai pagi menambah daftar panjang remaja insomnia.

"Gaya hidup atau kebiasaan yang demikian memang bisa memicu insomnia karena yang bersangkutan menjadi terkondisi atau terbiasa. Namun, insomnia bisa juga disebabkan faktor lain seperti gangguan kesehatan fisik dan psikologis," kata psikiater anak dan remaja FKUI Tjhin Wiguna.

Tjhin menjelaskan bahwa kondisi kesehatan fisik seseorang yang kurang baik bisa membuatnya insomnia. Misalnya, pasien remaja berusia 16 tahun mengeluh insomnia. Setelah diperiksa, ternyata disebabkan gangguan arthritis rhematoid atau semacam gangguan sendi yang dideritanya.

Sementara dari sisi psikologis, remaja depresi juga rentan mengalami insomnia. Sebuah penelitian di Amerika yang dimuat dalam The Journal Sleep, belum lama ini, melaporkan bahwa insomnia pada anak atau remaja dapat memprediksikan kemungkinan gejala yang sama pada masa depannya.

Profesor ilmu perilaku dari Fakultas Kesehatan Umum Universitas Texas di Houston dan ketua tim studi tersebut, Robert E Roberts PhD, mengumpulkan data dari 4.175 partisipan remaja berusia 11- 17 tahun. Mereka diwawancarai dan diminta mengisi kuesioner tentang gejala kesulitan tidur yang mengarah pada insomnia, juga frekuensi dan durasinya.

Kesimpulannya, remaja dengan insomnia, terutama yang kronis,berisiko lebih besar terkena gejala somatis di masa depan, termasuk masalah psikologis. "Data kami menunjukkan, beban kasus insomnia pada remaja terkait kelainan psikologis lainnya seperti depresi, cemas,dantindakan abuse," kata Robert.

Pesan moralnya,lanjutnya, penyedia layanan kesehatan harus memberi perhatian lebih dalam mendeteksi dan menangani insomnia pada remaja. Insomnia dikategorikan sebagaigangguantidur, yangmana orang tersebut kesulitan untuktertidur, tetapterjaga,atau terbangundaritidurterlalucepat. Gangguan itu bisa digambarkan dengan berbagai kualitas tidur yang buruk.

Orang yang terlalu lelah bekerja seharian mungkin saja tidak mengalami insomnia. Namun, biasanya mereka mengeluh lelah, bosan atau depresi. Pada akhirnya, itu bisa berkontribusi pada gejala insomnia juga. Penanganan insomnia biasanya tergantung latar belakang penyebabnya.

Tjhin Wiguna menegaskan, orangtua yang punya anak remaja insomnia sebaiknya waspada jika sudah timbul keluhan yang mengganggu keseharian si anak. Misalkan sulit berkonsentrasi atau nilai ujian turun. Jika tak ada sebab medis atau psikologis umumnya tidak perlu diobati, cukup mengubah gaya hidup.

Sementara, jika ada keluhan medis atau insomnia yang disebabkan adanya penyakit. "Tentu harus diatasi dulu penyakitnya. Adapun jika disebabkan depresi, pemberian obat antidepresan juga dimungkinkan,"papar Tjhin.

Kaum remaja umumnya masih dalam masa pertumbuhan sehingga direkomendasikan tidur malam sekitar 9 jam per hari. The American Academy of Sleep Medicine mengemukakan beberapa tips bagi remaja, yang juga penting dibaca orangtua untuk membantu mengembangkan pola tidur yang sehat.

Cobalah tidur malam 9 jam setiap malam. Dengan tidur cukup, ketika bangun badan lebih bugar dan siap memulai hari dengan bersemangat. Bersantai sebelum tidur. Saat jam tidur, hindari kegiatan belajar yang terlalu memeras otak, berdiskusi, atau berolahraga yang menguras tenaga. Ciptakan nuansa tenang dan sepi sebelum tidur.

Matikan video dan berhentilah bermain game atau PlayStation. Atur pencahayaan yang tidak terlalu terang di kamar tidur. Pencahayaan temaram membuat badan "tune-in" bahwa inilah saatnya tidur. Sebaliknya, nyalakan lampu yang terang di pagi hari.

Bila perlu, lakukan olahraga atau gerakan ringan. Cobalah mengganti kekurangan jam tidur sebisa mungkin. Misalnya tidur sejenak, tapi jangan di sore hari. Tidurlah lebih lama di akhir pekan. Namun, jangan lebih dari 12 jam. Hindari konsumsi stimulan seperti kafein saat siang dan petang, apalagi menjelang tidur. Hindari juga mengemudi saat mata mengantuk.

Makanan jenis karbohidrat seperti snack dari beras atau gandum umumnya lebih memicu kantuk ketimbang makanan berlemak atau protein tinggi. Jika tak bisa tidur, bangkit dan pergilah ke ruang lain, lalu lakukan sesuatu. Merajut adalah salah satu yang terbaik. Sebab, pekerjaan ini cenderung monoton sehingga mengantar kita untuk terkantuk-kantuk..

22 September 2008

Asuhan Keperawatan Klien dengan Masalah Psikososial

Asuhan Keperawatan Klien Kehilangan dan

Berduka (Loss and Grief)

A. Definisi

Menurut Iyus yosep dalam buku keperawatan jiwa 2007, Kehilangan adalah suatu keadaan Individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. Ada kehilangan yang bersifat metrasional yaitu kehilangan yang diakibatkan oleh transisi kehidupan normal untuk pertama kalinya. Ada pula kehilangan yang bersifat situasional, yaitu kehilangan yang terjadi secara tiba-tiba dalam merespon kejadian eksternal spesifik seperti kematian mendadak orang yang dicintai.

S. Sundeen (1995:426) menyatakan :

Loss of attachment: The loss may be real or imagined and may include the loss of love, a person, physical functioning, status or self esteem. Many losses take on importance because of their symbolic meaning. May involve the loss of old friends, warm memories, and neighborhood associations. The ability to sustain, integrate and recover from loss, however is a sign of personal maturity and growth.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kehilangan merupakan suatu keadaan gangguan jiwa yang bias terjadi pada orang- orang yang menghadapi suatu keadaan yang berubah dari keadaan semula (keadaan yang sebelumnya ada menjadi tidak ada)

Kehilangan dapat dikelompokkan menjadi lima kategori.

1. Kehilangan objek eksternal

Kehilangan objek eksternal dapat diakibatkan karena kerusakan oleh bencana alam, berpindah tempat atau dicuri. Kehilangan disni lebih berfokus pada kehilangan objek yang berupa benda.

2. Kehilangan lingkungan yang dikenal

Kehilangan ini diakibatkan oleh perpisahan yang dialami seseorang seperti pindah kos, tempat tinggal.

3. Kehilangan orang terdekat

Kehilangan ini mencakup kejadian nyata atau hayalan dari persepsi seseorang karena kejadian, kehilangan orang yang berarti,fungsi fisik dan harga diri.beberapa contoh diantaranya adalah kasih sayang, kehilangan orang tua, kehilangan pasangan, anak, teman kerja, dll. Gangguan ini merupakan gangguan yang sangat berarti dilihat dari segi attachment ( kedekatan seseorang terhadap orang lain yang dianggap penting.

4. Kehilangan aspek diri

Kehilangan ini mencakup kehilangan pada organ tubuh seperti kehilangan tangan, kaki , payudara, rahim dll.

5. Kehilangan hidup

Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi detik-detik dimana orang tersebut akan meninggal.

B. Proses Kehilangan

Proses kehilangan terdiri dari berbagai macam proses, diantaranya:

1. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir positif –kompensasi positif terhadap kegiatan yang dilakukan – perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa nyaman.

2. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir negatif –tidak berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke dalam diri ( tidak diungkapkan)– muncul gejala sakit fisik.

3. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif– tidak berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu –berperilaku konstruktif – perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa kenyamanan.

4. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif–tidak berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu – berperilaku destruktif – perasaan bersalah – ketidakberdayaan.

Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap kehilangan adalah pemberian makna (personal meaning) yang baik terhadap kehilangan (husnudzon) dan kompensasi yang positif (konstruktif).

C. Prespektif Agama Terhadap Kehilangan

Dilihat dari perpektif agama hal-hal yang harus diperhatikan oleh individu untuk mengatasi kehilangan yang dialaminya adalah sabar, berserah diri, menerima dan mengembalikannya pada Allah SWT.

D. Fase-fase Kehilangan

· Fase kehilangan menuru Engel:

1. Pada fase ini individu menyangkal realitas kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk tidak bergerak atau menerawang tanpa tujuan. Reaksi fisik dapat berupa pingsan, diare, keringat berlebih.

2. Pada fase kedua ini individu mulai merasa kehilangan secara tiba-tiba dan mungkin mengalami keputusasaan secara mendadak terjadi marah, bersalah, frustasi dan depresi.

3. Fase realistis kehilangan. Individu sudah mulai mengenali hidup, marah dan depresi, sudah mulai menghilang dan indivudu sudah mulai bergerak ke berkembangnya keasadaran

· Fase berduka menurut kubler-Rose adalah :

1. Fase Pengingkaran (denial)

Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi, dengan mengatakan “Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi”, ”itu tidak mungkin”. Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit terminal, akan terus menerus mencari informasi tambahan.

Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengingkaran adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis gelisah, tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi tersebut diatas cepat berakhir dalam waktu beberapa menit sampai beberapa tahun.

2. Fase Marah (anger)

Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang yang ada di lingkungannya, orang tertentu atau ditujukan kepada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar, menolak pengobatan , dan menuduh dokter dan perawat yang tidak becus. Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.

3. Fase Tawar Menawar(bergaining)

Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara sensitif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan memohon kemurahan Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata ”kalau saja kejadian itu bisa ditunda maka saya akan sering berdoa”. Apabila proses berduka ini dialami oleh keluarga maka pernyataannya sebagai berikut sering dijumpai ”kalau yang sakit bukan anak saya”.

4. Fase Depresi(depression)

Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri, tidak mudah bicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut, atau dengan ungkapan yang menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makanan, ,susah tidur, letih, dorongan libido menurun.

5.Fase Penerimaan (acceptance)

Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran selalu terpusat kepada objek atau orang lain akan mulai berkurang, atau hilang, individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya, gambaran objek atau orang lain yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatian beralih pada objek yang baru. Fase menerima ini biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti ”saya betul-betul menyayangi baju saya yang hilang tapi baju baru saya manis juga”, atau “apa yang dapat saya lakukan supaya saya cepat sembuh”.

Apabila individu sudah dapat memulai fase-fase tersebut dan masuk pada fase damai atau fase penerimaan maka dia akan dapat mengakhiri proses berduka dan mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Tapi apabila individu tetap berada pada salah satu fase dan tidak sampai pada fase penerimaan, jika mengalami kehilangan lagi maka akan sulit baginya masuk pada fase penerimaan.

*Fase berduka menurut Rando:

1. Penghindaran

pada fase ini terjadi syok, menyangkal, dan ketidak percayaan

2. Konfrontasi

pada fase ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang melawan kehilangan mereka dan kedudukan mereka paling dalam.

3. Akomodasi

Pada fase ini klien secara bertahap terjadi penurunan duka yang akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan social sehari-hari dimana klien belajar hidup dengan kehidupan mereka.


E. Contoh Stressor dan Bentuk Kehilangan di Indonesia

NO

JENIS STRESSOR

JENIS KEHILANGAN

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Gempa dan Tsunami Aceh

Lumpur Lapindo

Gempa di Yogyakarta

Jatuhnya pesawat Adam Air

Tenggelamnya kapal Levina

Sampah longsor rumah

Banjir bandang

PHK di IPTN

Banjir Jakarta

Rumah, orang yang berarti, pekerjaan, bagian tubuh.

Rumah, tetangga yang baik.

Rumah, makna rumah yang lama, orang yang berarti, bagian tubuh, pekerjaan.

Orang yang berarti, bagian tubuh.

Orang yang berarti.

Orang yang berarti.

Harta benda, orang tercinta, lingkungan yang baik, kesehatan.

Pekerjaan, status, harga diri.

Harta benda, orang tercinta, lingkungan yang baik, kesehatan.

1. Pengkajian

Faktor Predisposisi

Faktor prdisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah:

Genetic

Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang mempunyai riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu permasalahan termasuk dalam menghadapi perasaan kehilangan.

Kesehatan Jasmani

Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur, cenderung mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan fisik

Kesehatan Mental

Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai riwayat depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya pesimis, selalu dibayangi oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka dalam menghadapi situasi kehilangan.

Pengalaman Kehilangan di Masa Lalu

Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang berarti pada masa kana-kanak akan mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan kehilangan pada masa dewasa (Stuart-Sundeen, 1991)

Struktur Kepribadian

Individu dengan konsep yang negatif, perasaan rendah diri akan menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap stress yang dihadapi.

Faktor Presipitasi

Strees yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan dapat berupa stress nyata, ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psiko-sosial antara lain meliputi: kehilangan kesehatan, kehilangan fungsi seksualitas, kehilangan peran dalam keluarga, kehilangan posisi dimasyarakat, kehilangan milik pribadi seperti: kehilangan harta benda atau orang yang dicintai, kehilangan kewarganegaraan, dan sebagainya.

Perilaku

Individu dalam proses berduka sering menunjukkan perilaku seperti: menangis atau tidak mampu menangis, marah-marah, putus asa, kadang-kadang ada tanda-tanda bunuh diri atau ingin membunuh orang lain. Juga sering berganti tempat mencari informasi yang tidak menyokong diagnosanya.

Mekanisme Koping

Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon antara lain: Denial, Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi, Supresi dan Proyeksi yang digunakan untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan. Regresi dan disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang dalam. Dalam keadaan patologis mekanisme koping tersebut sering dipakai secara berlebihan dan tidak tepat.

2. Diagnosa Keperawatan

1. Potensial proses beduka yang tidak terselesaikan sehubungan dengan kematian ibu.

2. Fiksasi berduka pada fase depresi sehubungan dengan amputasi kaki kiri.

3. Potensial respon berduka yang berkepanjangan sehubungan dengan proses berduka sebelumnya yang tidak tuntas.

3. Perencanaan

Tujuan jangka panjang : agar individu berperan aktif melalui proses berduka secara tuntas.

Tujuan jangka pendek : pasien mampu :

1. Mengungkapkan perasaan duka

2. Menjelaskan makna kehilangan atau orang atau objek

3. Membagi rasa dengan orang yang berarti

4. Menerima kenyataan kehilangan dengan perasaan damai

5. Membina hubungan baru yang bermakna dengan objek atau orang yang baru

4. Prinsip Tindakan Keperawatan pada Pasien dengan Respon Kehilangan

1. Bina dan jalin hubungan saling percaya

2. Diskusikan dengan klien dalam mempersepsikan suatu kejadian yang menyakitkan dengan pemberian makna positif dan mengambil hikmahnya

3. Identifikasi kemungkinan factor yang menghambat proses berduka

4. Kurangi atau hilangkan factor penghambat proses berduka

5. Beri dukungan terhadap respon kehilangan pasien

6. Tingkatkan rasa kebersamaan antara anggota keluarga

7. Ajarkan teknik logotherapy dan psychoreligious therapy

8. Tentukan kondisi pasien sesuai dengan fase berikut :

a. Fase Pengingkaran

  • Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaannya.
  • Menunjukkan sikap menerima, ikhlas dan mendorong pasien untuk berbagi rasa.
  • Memberikan jawaban yang jujur terhadap pertanyaan pasien tentang sakit, pengobatan dan kematian.

b. Fase marah

  • Mengizinkan dan mendorong pasien mengungkapkan rasa marahnya secara verbal tanpa melawan dengan kemarahan.

c. Fase tawar menawar

  • Membantu pasien mengidentifikasi rasa bersalah dan perasaan takutnya.

d. Fase depresi

  • Mengidentifikasi tingkat depresi dan resiko merusak diri pasien.
  • Membantu pasien mengurangi rasa bersalah.

e. Fase penerimaan

  • Membantu pasien untuk menerima kehilangan yang tidak bisa dielakkan.

5. Prinsip Keperawatan pada Anak dengan Respon Kehilangan

1. Memberi dorongan kepada keluarga untuk menerima kenyataan serta menjaga anak selama masa berduka.

2. Menggali konsep anak tentang kematian, serta membetulkan konsepnya yang salah.

3. Membantu anak melalui proses berkabung dengan memperhatikan perilaku yang diperhatikan oleh orang lain.

4. Mengikutsertakan anak dalam upacara pemakaman atau pergi ke rumah duka.

6. Prinsip Keperawatan pada Orangtua dengan Respon Kehilangan (Kematian Anak)

1. Menyediakan sarana ibadah, termasuk pemuka agama.

2. Menganjurkan pasien untuk memegang/melihat jenasah anaknya.

3. Menyiapkan perangkat kenangan.

4. Menganjurkan pasien untuk mengikuti program lanjutan bila diperlukan.

5. Menjelaskan kepada pasien/keluarga ciri-ciri respon yang patologis serta tempat mereka minta bantuan bila diperlukan.

7. PELAKSANAAN

Berikut ini akan diuraikan proses keperawatan pada klien dengan respon kehilangan

Diagnosa keperawatan:

Potensial terjadi proses berduka yang tidak terselesaikan sehubungan dengan kematian ibu, pada anak usia 5 tahun.

Tujuan

Tujuan jangka panjang:

Anak dapat menyelesaikan masa berkabung dengan tuntas.

Tujuan jangka pendek:

  1. anak dapat mengerti arti sakit dan kematian
  1. anak dapat mengungkapkan perasaannya
  1. Anak dapat mengurangi rasa bersalah
  1. Melalui proses berkabung dengan melihat prilaku orang dewasa.

Tindakan Keperawatan

· Membina hubungan saling percaya antara anak, keluarga, dan petugas dengan sikap jujur, menerima, ikhlas, dan empati

· Menunjukan perhatian dan kasih sayang anak baik melalui kata-kata maupun dengan sikap.

· Menanyakan kepada anak pengalamannya tentang kematian.

· Menjelaskan pada anak bahwa ibunya meninggal bukan tidur.

· Menjelaskan kepada anak bahwa roh orang yang meninggal yang menghadap Tuhan bukan jasadnya.

· Meminta kepada keluarga / orang yang berarti agar menemani anak selama masa berduka bila perlu mengijinkan untuk tinggal bersama mereka.

· Mendorong anak untuk mengungkapkan perasaannya dengan menanyakan apa yang dipikirkan selama ibunya sakit sampai sekarang.

· Menjelaskan pada anak bahwa ibunya sakit dan meninggal bukan karena dia nakal atau bukan karena kesalahannya.

· Menjelaskan pada anak bahwa orang sering sedih dan menangis bila ada yang meninggal.

· Mengajak anak mengikuti upacara pemakaman dan mengunjungi rumah duka

· Menjelaskan kepada anak urutan upacara dan apa yang harus dilakukan oleh anak, sebelum upacara dan pelayat datang.

Diagnosa keperawatan:

Fiksasi pada fase pengingkaran sehubungan dengan kematian kekasih.

Tujuan

Pasien dapat melalui fase pengingkarannya dengan wajar tanpa kesulitan.

Tindakan keperawatan

  • Mendorong pasien untuk mengungkapkan pengingkarannya tanpa memaksa untuk menerima kenyataan.
  • Mendengarkan dengan penuh minat dan perhatian apa yang dikatakan oleh pasien.
  • Menjelaskan kepada pasien, bahwa perasaan tersebut wajar terjadi pada orang yang mengalami kehilangan.
  • Membantu pasien untuk memakai mekanisme koping yang lain seperti menangis / berbicara.
  • Mengikutsertakan orang yang berarti bagi pasien untuk menjelaskan apa yang telah terjadi.
  • Meningkatkan kesadaran pasien secara bertahap tentang kenyataan kehilangan yang harus dihadapi.
  • Memberi dukungan atas usaha pasien untuk menerima kenyataan.
  • Membantu klien untuk mencoba mengungkapkan rasa marahnya.
  • Menjawab semua pertanyaan pasien dengan singkat dan jelas.
  • Memberi dukungan secara nonverbal.



Evaluasi

  1. Apakah pasien sudah dapat mengungkapkan perasaannya secara optimal?
  2. Apakah pasien dapat menjelaskan makna kehilangan tersebut terhadap kehidupannya?
  3. Apakah pasien dapat menjelaskan makna kehilangan tersebut terhadap kehidupannya?
  4. Apakah pasien menunjukkan tanda-tanda penerimaan?
  5. Apakah pasien sudah dapat menilai hubungan baru dengan orang lain objek lain?

PRESENTASI

View SlideShare presentation

IMSOMNIA

REFERENSI

Doenges, Malynn E, dkk. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan Psikiatri. Jakarta: EGC

Kubler, Elisabeth. 1981. On Death and Dying. Jakarta: EGC

Peiffer, Vera. 1994. Bagaimana Mengatasi Perpisahan. Jakarta: Arcan

Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama

http://funnyfree.net/results03/askep_kehilangan.html

http://sp4669.wordpress.com/keparawatan/

http://alyahasna.blogspot.com/2008_09_01_archive.html

http://nutrisijiwa.blogspot.com/feeds/posts/default

 
@2008 Petualang Jiwa 05
Design by "PetualangJiwa05 FIKUNPAD"